Para mualaf wanita Amerika semakin kuat pasca Bom Boston
Banan
Selasa, 25 Rajab 1434 H / 4 Juni 2013 11:30
Ketika Karen Hunt Ahmed dan suaminya bercerai empat tahun lalu, banyak
temannya yang bertanya, “Sekarang kau bisa keluar dari Islam lagi, kan?”
“Bagi mereka mungkin ini hanya seperti hobi. Memeluk Islam ketika saya
menikah dengan seorang Muslim lalu kembali murtad ketika saya bercerai
dengannya,” kata Hunt Ahmed, pemimpin Chicago Islamic Microfinance Project,
yang ia dirikan bersama dua rekannya pada tahun 2009.
Hunt Ahmed (45) adalah seorang wanita Amerika yang menjadi mualaf saat akan
menikah dengan seorang pria Muslim. Masuknya wanita ke dalam Islam terutama
saat mereka akan atau telah menikah dengan pria Muslim, membuat beberapa orang
berpersepsi bahwa mereka masuk Islam karena calon suami atau suami mereka yang
mendominasi.
Stereotip seperti itu seakan semakin dihidupkan saat berita pemboman
Marathon Boston mencuat. Ketika itu muncul kabar bahwa istri “tersangka”
pemboman Tamerlan Tsarnaev, Katherine Russell, masuk Islam setelah bertemu
Tsarnaev pada tahun 2009 atau 2010 ketika ia berusia sekitar 21 tahun.
Tamerlan Tsarnaev (26), ditembak polisi Boston dan gugur setelah
penangkapannya. Sementara adiknya Dzhokhar (19), kini masih ditahan dan
menghadapi tuduhan “terorisme”.
“Banyak media yang telah menggambarkannya [Russel] sebagai seseorang yang
dicuci otaknya dan tidak tahu apa yang ia lakukan,” kata Edlyn Sammanasu, yang
lahir dan dibesarkan oleh kedua orang tua yang Katolik. Sammanasu mulai
mempelajari Islam ketika ia bertemu dengan suaminya yang seorang Muslim di
perguruan tinggi, dan ia memeluk Islam ketika ia berusia 21 tahun.
“Ketika saya melihat liputan itu, saya pikir ini konyol,” kata Sammanasu,
yang sekarang berusia 32 tahun. Ia adalah seorang penulis teknis di Fremont,
California.
Seema Imam, seorang profesor pendidikan di Louis National University di
Lisle, Illinois, juga melihat hal yang sama. Ia tidak dibesarkan dalam keluarga
Muslim, tapi akhirnya ia memeluk Islam 40 tahun yang lalu pada usia 17 tahun.
“Setiap kali seseorang berbicara tentang mualaf Muslim, mereka mengaitkannya
dengan sesuatu yang negatif, hal itu mereka lakukan dengan cara mengatakan,
‘Hati-hati, lihatlah apa yang terjadi ketika Anda menjadi Muslim,’” katanya.
Orang-orang Amerika yang masuk ke dalam Islam berasal dari latar belakang,
ras dan etnis, serta interpretasi iman mereka yang berbeda-beda. Beberapa
mualaf perempuan langsung memakai kerudung, beberapa lainnya tidak langsung.
Apa yang mereka dengar kemudian adalah tentang persepsi orang lain bahwa
mereka tidak mampu membuat pilihan mereka sendiri dalam keputusan yang
melibatkan pergulatan spiritual yang substansial.
Namun, yang mereka rasakan justru sebaliknya. Wanita adalah makhluk yang
bisa berpikir sendiri. Demikian juga yang dirasakan Malika MacDonald Rushdan
yang menjadi mualaf pada tahun 1995 setelah bercerai dengan suaminya yang
Kristen. Dia mengucap syahadat di masjid Islamic Society of Boston di
Cambridge, di mana Tsarnaev bersaudara sesekali shalat di sana.
“Keyakinan saya, menurut definisi, adalah untuk Sang Pencipta, bukan untuk
suami saya,” tulis pengacara Ohio, Sarah Anjum, yang menjadi mualaf sejak
hampir 10 tahun yang lalu, saat dia masih kuliah mempelajari gerakan politik
Islam dan Arab, empat tahun sebelum ia bertemu dengan suaminya.
Sementara itu, beberapa Muslimah Amerika lainnya menjadi mualaf sebelum
mereka menikah. Mereka mulai membaca segala hal tentang Islam. Mereka
mengatakan hal itu sangat menyenangkan, mempelajari Islam sebelum bertemu
dengan suami mereka di masa depan.
Kelly Wentworth (35), mengatakan kepada temannya yang berasal dari Yaman
bahwa ia tertarik untuk belajar tentang Islam. Temannya itu lalu mengenalkan ia
pada seorang profesor Muslim yang mengajar di Tennessee Tech, di mana pada saat
itu ia dan teman Yaman-nya adalah mahasiswa yang sama-sama belajar di sana.
Ketika ia kemudian mengatakan bahwa ia ingin memeluk Islam, temannya tidak
merayakannya.
“Dia khawatir orang-orang akan berpikir bahwa saya memeluk Islam karena dia,
atau bahwa dia yang memaksa saya untuk mengubah agama saya,” kata Wentworth,
yang kini menjadi seorang insinyur perangkat lunak di Atlanta dan anggota dewan
Muslim untuk
Progressive Values, sebuah kelompok advokasi nasional.
“Stereotip di luar sana, kami sedang bertarung melawan itu sekarang.”
Wentworth menjadi begitu khawatir tentang bagaimana teman-teman dan keluarga
akan menilainya setelah berita tentang Russell Katherine mencuat. Hal itu
membuat dia tidak bisa tidur selama beberapa malam.
Sebuah studi dari Pew Research Center 2011 menemukan bahwa sekitar 20 persen
dari sekitar 1,8 juta Muslim di Amerika merupakan mualaf. Sementara studi Pew
2007 menemukan bahwa 49 persen menjadi mualaf pada usia 21 tahun. Penelitian
2007 juga menemukan bahwa 58 persen dari mualaf menjadi mualaf karena tertarik
dengan Islam, dan 18 persennya karena alasan keluarga dan pernikahan.
Para mualaf wanita tersebut mengakui bahwa mereka telah mendengar tentang
wanita Muslim yang terjebak dalam hubungan keluarga yang kurang harmonis, tapi
kemudian mereka mengatakan bahwa hubungan seperti itu bisa dialami oleh semua
wanita, bukan hanya wanita Muslim.
“Itu tidak ada hubungannya dengan agama,” kata Wentworth. “Itu masalah
kepribadian.”
Katherine Wilson, seorang mualaf dan penduduk Rhode Island yang bekerja
dengan perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual, meyakini itu. Ia
mengatakan kepada media, hanya dengan mengacu pada kisah Russell, mualaf wanita
dipandang secara negatif oleh beberapa orang yang tidak mengenal mereka dan
menganggap mereka mengambil keputusan yang bertentangan dengan kehendak mereka
sendiri.
Sementara stereotip seperti itu masih mengganggu para mualaf wanita ini,
banyak yang mengatakan bahwa mereka telah “kelelahan” karena harus menjelaskan
keputusan mereka dalam memeluk Islam. Tapi hal itu tidak berarti bahwa mereka
tidak berusaha untuk menjelaskannya kepada orang-orang yang belum memahaminya.
Mereka tidak menyerah. Mereka semakin kuat.
“Akan selalu ada orang-orang yang menilai berdasarkan
pada ketidaktahuan,” kata MacDonald Rushdan. “Saya akan terus melakukan apa
yang saya selalu lakukan. Saya tidak akan menyesal menjadi seorang wanita yang
takut kepada Allah, yang dengan imannya memberikan ia kedamaian dan kepuasan
batin.” (banan/huffpost/arrahmah.com